Industri Rokok Hadapi Tantangan Pengusaha Desak Penghentian Regulasi

akseswarganet.web.id – Presiden Prabowo Subianto yang bertekad meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia dan menciptakan jutaan lapangan kerja, tidak boleh

terhambat oleh agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang telah merambah berbagai produk hukum.

Henry Najoan, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), menegaskan bahwa polemik Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024),

khususnya pada Bab XXI tentang Pengamanan Zat Adiktif pada Pasal 429 – 463, merupakan ancaman yang signifikan terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia.

Najoan berpendapat bahwa pemerintah sebaiknya menahan diri untuk tidak memberlakukan PP 28/2024 di saat faktor geopolitik dan geoekonomi global sudah memengaruhi keadaan bangsa.

Industri Rokok Hadapi Tantangan Pengusaha

“Hal ini menimbulkan ketimpangan dalam produksi produk hukum dan dapat menimbulkan dampak buruk yang cukup besar bagi industri dan perekonomian nasional yang saat ini sedang terpuruk,” kata Najoan di Jakarta, Senin (17/2/2025).

GAPPRI menilai, pemberlakuan regulasi ini lebih sejalan dengan agenda FCTC ketimbang perlindungan kepentingan masyarakat terdampak. Banyak pemangku kepentingan yang secara

langsung terdampak oleh regulasi ini dan seharusnya diberi kesempatan untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pembahasan.

Oleh karena itu, GAPPRI menghimbau Presiden Prabowo Subianto yang saat ini tengah fokus

mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di Indonesia untuk tidak gentar menghadapi agenda FCTC yang menyusup melalui produk hukum, termasuk PP 28/2024.

Hasil riset GAPPRI menunjukkan, penerapan PP 28/2024 akan memberikan dampak ekonomi

yang cukup besar, yakni mencapai Rp182,2 triliun, dengan dampak terhadap 1,22 juta tenaga kerja di berbagai sektor.

Henry Najoan mencatat, pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah

berpotensi menimbulkan kerugian hingga Rp84 triliun. Selain itu, pembatasan iklan rokok diperkirakan berdampak pada perekonomian hingga Rp41,8 triliun.

Terkait kemasan rokok polos, Najoan menegaskan, jika tiga aturan tersebut, yakni kemasan polos, larangan penjualan, dan pembatasan iklan, diberlakukan, potensi kerugian penerimaan pajak diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun.

Ia menjelaskan, kemasan rokok polos dapat memicu peningkatan downtrading, di mana

konsumen beralih ke rokok yang lebih murah dan peralihan ke rokok ilegal dapat terjadi 2-3 kali lebih cepat dari sebelumnya. Permintaan produk legal juga diperkirakan turun hingga 42,09%.

GAPPRI menghimbau pemerintah untuk mempertimbangkan pandangan seluruh pemangku

kepentingan, termasuk pelaku industri, guna merumuskan kebijakan yang menjaga kesehatan masyarakat sekaligus mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan sosial.

Industri Rokok Hadapi Tantangan Pengusaha

Sektor IHT merupakan industri nasional yang sangat vital dan menyerap sekitar 5,8 juta tenaga kerja, termasuk petani tembakau, karyawan pabrik, dan distributor. Namun, sektor ini

menghadapi tantangan yang cukup besar pasca disahkannya UU 17/2023 tentang Kesehatan beserta peraturan perundang-undangan terkait.

Henry Najoan menyatakan, “Berbagai tekanan regulasi yang diberlakukan terhadap IHT yang legal dianggap memberatkan bagi berbagai sektor yang saling terkait. Oleh karena itu,

pemerintah harus berhati-hati dalam merumuskan kebijakan, dengan mempertimbangkan lanskap sosial ekonomi Indonesia yang unik dan berbeda dengan negara lain.”

GAPPRI mengadvokasi pembentukan platform dialog yang inklusif dan transparan untuk memfasilitasi penyusunan regulasi yang adil dan berimbang.

Henry Najoan menyimpulkan, “Langkah-langkah tersebut penting untuk memastikan

keberlanjutan industri, menjaga jutaan lapangan pekerjaan, dan menjaga stabilitas ekonomi nasional yang sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *